Apakah Sobat Bincang Energi kenal dengan Kepulauan Galapagos di Samudera Pasifik? Ternyata menurut riset yang dilakukan oleh Dueñas, Jiménez-Uzcátegui, dan Bosker (2021), keanekaragaman hayati di Kepulauan Galapagos sangat terdampak oleh climate change. Tidak hanya di sana, beberapa riset lain juga mengatakan bahwa keanekaragaman hayati di Indonesia juga terancam.
Pada kesempatan ini yang bertepatan dengan Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional, mari kita bahas mengenai korelasi antara keanekaragaman hayati atau biodiversitas dengan perubahan iklim. Namun sebelumnya, kita berkenalan terlebih dahulu dengan Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional.
Sejarah Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional
Hari Cinta Puspa dan Satwa pertama kali diresmikan oleh Presiden Soeharto melalui Keppres No. 4 Tahun 1993. Pada Keputusan Presiden tersebut, tanggal 5 November ditetapkan sebagai Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional dan dirayakan setiap tahun. Tujuan ditetapkannya hari besar ini adalah untuk meningkatkan kepedulian kita terhadap puspa dan satwa nasional sehingga perlindungan dan pelestarian dapat terus berjalan. Selain itu, kebijakan ini juga diharapkan dapat membuat masyarakat memiliki kesadaran akan pentingnya puspa dan satwa pada kehidupan kita.
Biodiversitas dan Perubahan Iklim
Menurut Harley dkk. (2005) dan Dueñas dkk. (2021), perubahan iklim antropogenik (disebabkan oleh manusia) merupakan pemicu kunci menurunnya keanekaragaman hayati. Perubahan iklim dapat merombak distribusi dan jumlah biota laut maupun darat, serta mengancam ketahanan spesies (terutama spesies langka dan endemik). Hal ini diperparah dengan adanya pemicu lain seperti penebangan hutan, penangkapan ikan berlebih (overfishing), dan kebakaran hutan.
Salah satu lokasi yang terdampak oleh perubahan iklim adalah Kepulauan Galapagos yang memiliki keanekaragaman hayati yang luar biasa. Di sana, terdapat kurang lebih 329 spesies vertebrata, 1900 spesies invertebrata, dan 560 spesies flora dimana 59%, 47%, dan 32% secara berurutan merupakan spesies endemik.
Terdapat dua musim di Kepulauan Galapagos: musim panas di bulan Januari-Mei dan musim dingin di bulan Juli-November. Selain musim, terdapat siklus cuaca ekstrim yang terjadi di Kepulauan Galapagos. Siklus pertama terjadi setiap 3-7 tahun dimana temperatur permukaan akan meningkat sebagai akibat dari fenomena El Niño Southern Oscillation (ENSO). Siklus kedua, disebabkan oleh fenomena La Niña, terjadi setiap 2-8 tahun yang berdampak pada menurunnya temperatur permukaan di Kepulauan Galapagos. Dampak dari musim dan cuaca ekstrim ini, temperatur dan curah hujan di Kepulauan Galapagos sangat fluktuatif (dapat dilihat pada Gambar 1).
Gambar 1. Fluktuasi Temperatur dan Curah Hujan di Kepulauan Galapagos (Dueñas dkk., 2021)
Lalu, bagaimana dampak climate change terhadap cuaca di Kepulauan Galapagos? Seperti yang dapat dilihat pada Gambar 2, perubahan iklim dapat berakibat pada meningkatnya temperatur rerata global, fenomena cuaca ekstrem, dan asidifikasi lautan. Peristiwa ini kemudian berbuntut pada meningkatnya frekuensi cuaca ekstrim, seperti fenomena La Niña dan ENSO, dan variabilitas iklim. Masing-masing dampak dari fenomena yang terjadi dapat dilihat pada Gambar 2 dimana terdapat fenomena yang menguntungkan atau merugikan bagi biota laut maupun biota darat. Fenomena ENSO cenderung menguntungkan bagi biota daratan, tetapi tidak untuk biota laut. Hal ini berlaku sebaliknya pada fenomena La Niña. Keseimbangan ini kemudian dapat rusak karena adanya variabilitas iklim dan siklus cuaca ekstrim yang semakin tidak beraturan akibat climate change.
Gambar 2. Dampak Perubahan Iklim terhadap Biodiversitas di Kepulauan Galapagos (Dueñas dkk., 2021)
Akibat dari perubahan iklim yang terjadi, terdapat beberapa spesies, baik biota laut maupun darat, di Kepulauan Galapagos yang terancam punah. Beberapa di antaranya adalah spesies penguin Galapagos (Sphensicus mendiculus), burung medium ground finch (Geospiza fortis), dan burung Floreana mockingbird (Mimus trifasciatus). Apabila kita tidak menghentikan perubahan iklim yang terjadi, spesies-spesies tersebut dapat benar-benar punah.
Gambar 3. Penguin Galapagos (Sphensicus mendiculus) Terancam Punah Akibat Perubahan Iklim
Tidak hanya di Kepulauan Galapagos, perubahan iklim juga mempengaruhi biodiversitas di Indonesia. Pada penelitian yang dilakukan oleh Cahyaningsih dkk. (2021), climate change memiliki dampak buruk terhadap keanekaragaman tanaman obat di Indonesia. Dengan menggunakan skenario emisi gas rumah kaca RCP4.5 dan RCP8.5, penelitian ini berhasil memproyeksikan distribusi tanaman obat di Indonesia dalam jangka pendek (2050) dan jangka panjang (2080). Spesies tanaman obat dari Pulau Jawa, Sulawesi, dan Papua memiliki risiko reduksi tertinggi. Sebanyak 20 tanaman obat, seperti Anaxogorea javanica dan Dicksonia blumei, diprediksi akan terancam punah jika tidak dilakukan konservasi. Dari hasil penelitian tersebut, pemerintah Indonesia disarankan untuk mulai melaksanakan konservasi baik secara in situ maupun ex situ.
Langkah Nyata Bagi Kita
Setelah mengetahui ancaman perubahan iklim yang dapat merusak keanekaragaman hayati, baik di Indonesia maupun di dunia, langkah-langkah apa saja yang dapat dilakukan? Kita dapat memulai dengan hal-hal sederhana seperti berikut ini.
- Meliterasi masyarakat luas mengenai dampak perubahan iklim terhadap biodiversitas dan cara mengatasi climate change
- Membantu mengurangi dampak climate change seperti dengan menggunakan energi terbarukan, teknologi ramah lingkungan, dan sustainable products
- Turut serta mendukung goal yang digalakkan dalam UN Climate Change Conference (COP26)
- Turut serta mendukung kegiatan konservasi keanekaragaman hayati yang ada di Indonesia
- Turut serta menghentikan kegiatan-kegiatan yang dapat merusak lingkungan dan habitat, seperti penebangan hutan secara liar
Dekade yang akan datang merupakan saat-saat kritis yang menetukan sampai mana umat manusia mampu mengatasi efek perubahan iklim dan penggunaan lahan berlebihan yang berefek pada biodiversitas.
Bagaimana menurut kalian, Sobat Bincang Energi? Apakah sudah cukup paham mengenai hubungan climate change dengan biodiversity? Untuk merayakan Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional tahun ini, yuk lakukan kegiatan-kegiatan positif yang dapat kita lakukan. Seperti yang dikatakan oleh Edward Osborne Wilson, seorang ahli biologi dan naturalis:
“Kita harus melestarikan setiap jengkal keanekaragaman hayati sebagai sesuatu yang tak ternilai sembari kita belajar memanfaatkannya dan memahami apa arti keanekaragaman bagi umat manusia.”
Selamat Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional, Sobat Bincang Energi!
Daftar Pustaka
Cahyaningsih, R., Phillips, J., Magos Brehm, J., Gaisberger, H. and Maxted, N., 2021. Climate change impact on medicinal plants in Indonesia. Global Ecology and Conservation, 30, p.e01752.
Dueñas, A., Jiménez-Uzcátegui, G. and Bosker, T., 2021. The effects of climate change on wildlife biodiversity of the galapagos islands. Climate Change Ecology, 2, p.100026.
Harley, C., Randall Hughes, A., Hultgren, K., Miner, B., Sorte, C., Thornber, C., Rodriguez, L., Tomanek, L. and Williams, S., 2006. The impacts of climate change in coastal marine systems. Ecology Letters, 9(2), pp.228-241.
Kementerian Lingkungan Hidup & Kehutanan Republik Indonesia. 2019. Selamat Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional. [Daring] (Diakses pada 2 November 2021).
Rainforest Action Network. 2021. Indonesia’s Rainforests: Biodiversity and Endangered Species – Rainforest Action Network. [Daring] (Diakses pada 2 November 2021).
Featured Image Credit
Photo by Dustin Haney on Unsplash